panglima polemIX
Dalam sistem pemerintahan kerajaan Aceh, Panglima Polem merupakan pejabat Panglima Sagoe XXII Mukim (Pedalaman Aceh Besar) dengan gelar tambahan Sri Muda Setia Peurkasa. Sedangkan untuk sebelah kanan Aceh Besar Panglima Sagoe Mukim XXVI bergelar Sri Imam Muda dan untuk sebelah kiri Mukim XXV bergelar Setia Ulama. Walaupun masing-masing Panglima Sagoe tersebut membawahi para Uleebalang, Imeum Mukim dan Keuchik, namun hanya sagoe pedalaman saja yang berhak memiliki gelar Panglima Polem.
Dengan demikian, sebutan Panglima Polem bukanlah nama asli dari tokoh
yang bersangkutan, tetapi merupakan gelar kehormatan yang dinobatkan
karena kebangsawanan sekaligus karena jabatan seseorang. Oleh karena
itu, dalam sejarah kerajaan Aceh ditemukan gelar Panglima Polem yang
selalu diikuti oleh nama lain sebagai nama asli dari tokoh yang
bersangkutan.
Silsilah Panglima Polem IX
Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal
dan tahun kelahiran Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, yang jelas dia
berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima
Polem VIII Raja Kuala anak dan Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud
Arifin yang juga terkenal dengan nama Cut Banta (Panglima Polem VII
(1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim Aceh
Besar. (Ibrahim Alfian: 1977, 41)
Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah
seorang puteri dari Tuanku Hasyim Bangtamuda, tokoh Aceh yang
seperjuangan dengan ayahnya. Dia diangkat sebagai Panglima Polem IX pada
bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala
yang telah berpulang ke rahmatullah. Setelah pengangkatannya sebagai
Panglima dia kemudian mempunyai nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri
Muda Setia Perkasa Muhammad Daud. (Ibrahim Alfian: 1977, 209).
Dukungan Keluarga
Dalam perjuangannya sebagai Panglima Sagoe XXII Mukim (Pedalaman Aceh
Besar), Teuku Panglima Polem Sri Muda Peurkasa Muhammad Daud dibantu
oleh dua orang Panglima, yakni abang iparnya yang bernama Teuku Ali
Basyah dari Geudong dan Teuku Ibrahim Montasie'. Di samping itu,
Panglima Polem juga mendapat dukungan yang sangat kuat dari mertuanya
Tuanku Hasyim Bangtamuda. Di mana dia sendiri berhasil mengumpulkan dana
sabilillah dari wilayah bawahannya XXII Mukim yang jumlahnya sekitar
35.000 ringgit dan mertuanya Tuanku Hasyim juga berhasil mengumpulkan
amunisi dari Daerah VII Mukim Pidie.
Dukungan Ulama
Selain itu, dalam perjuangannya Panglima Polem Raja Daud secara tidak
langsung juga memperoleh dukungan dari para ulama Aceh, seperti Teungku
Mayet Tiro, Teungku Klibeuet, Habib Lhong dan Teungku Geulima. Mereka
mendirikan kubu-kubu pertahanan rakyat Aceh guna menghadapi serangan
Belanda, terutama terhadap Daerah XXII Mukim. Bahkan lebih dari itu,
ternyata para ulama juga ikut aktif pada barisan terdepan dalam
menghadapi Belanda. Teungku Muhammad Amin misalnya, dia secara riil
memperoleh pengakuan dari Sultan Muhammad Daud Syah sebagai pimpinan
pejuang menggantikan Teungku Chi’ Syaikh Saman di Tiro yang telah
berpulang ke rahmatullah pada tahun 1892.
Di samping itu, peperangan juga dipimpin langsung oleh Teungku Pante
Kulu, Teungku Kuta Karang, Habib Samalanga, Teungku Ati Lam Kra',
Teungku Mat Saleh, Teungku Rayeu', Teungku Di Caleue, Teungku Husen
Lueng Bata, Habeb Lhong dan Pocut Mat Tahe. (Ibrahim Alfian: 1977, 42).
Sebagai pendukung utama Panglima Polem dari pihak ulama, maka Teungku
Muhammad Amin dan Teungku Beb diangkat menjadi Panglima Besar Pasukan
Muslimin. Di samping itu, secara khusus diangkat pula Teuku Nyak Makam
sebagai Panglima Besar untuk wilayah Aceh Timur. Pada tahun 1893 Nyak
Makam tercatat berhasil menggerakkan sebuah perlawanan yang cukup sengit
di daerah Tamiang yang telah menewaskan sejumlah perwira dan pasukan
Belanda.
Bergabung Dengan Teuku Umar
Sampai tahun 1896, Belanda masih sulit mencapai kubu-kubu pertahanan
rakyat Aceh. Kesulitan itu diperparah lagi oleh segala siasat Teuku Umar
bersama 15 orang panglimanya yang pada bulan September 1893 secara
pura-pura menyerah kepada Belanda, lalu dia diangkat sebagai Panglima
Perang Besar di pihak Belanda. Di penghujung bulan Maret 1896 setelah
terjadi penyerangan besar-besaran terhadap patroli Belanda di daerah Lam
Kra' VII Mukim Ba'et Aceh Besar, secara dramatis Teuku Umar bersama 15
pengikutnya berbalik kembali membela rakyat Aceh. Teuku Umar
meninggalkan Belanda setelah memiliki dana, persenjataan, dan telah
banyak menguasai teknik tempur dari pihak Belanda. Pada tanggal 26 April
1896 (ia dipecat oleh penguasa Belanda dari segaia jabatannya dan sejak
saat itu dia menjadi tokoh utama yang paling diincar oleh pihak
Belanda. Dalam pengejaran Teuku Umar, Gubernur Belanda Deijkerhoff
meminta bantuan penambahan pasukan dari Pemerintah Pusat di Batavia.
Bantuan pasukan besar-besaran tiba bersama Panglima Angkatan Darat dan
Panglima Angkatan Laut Belanda di bawah pimpinan Vetter. Mereka
menggempur seluruh kubu pertahanan Aceh dari semua ini.
Sementara itu, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang
pasukannya bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan
Belanda. (Ibrahim Alfian: 1977, 45). Dalam pertempuran besar-besaran
yang berlangsung selama 14 hari, sejak tanggal 8 sampai 21 April di
pihak Belanda jatuh korban sebanyak 215 orang tewas dan 190 orang
luka-luka. Dengan perasaan takut bercampur marah pasukan Belanda kembali
menekan dan mempertajam serangannya, sehingga dalam pertempuran di
Aneuk Galung Belanda berhasil menjatuhkan korban di pihak Aceh sebanyak
110 orang sedangkan di pihak mereka hanya 6 orang tewas dan 33 orang
luka-luka, di antaranya 4 orang, perwira. Para pejuang Aceh yang gugur
dalam pertempuran itu kebanyakan berasal dari daerah Pidie. Di dalamnya
terdapat salah seorang tokoh pejuang Aceh yang sangat tangguh yakni
Teungku Mat Amin (salah seorang putera Teungku Chik di Tiro).
Di bawah pimpinan Gubernur J.W. Stemfoort, Belanda merubah pola
pertahannya dari sistem konsentrasi ke politik agresi. Walaupun
demikian, Belanda tetap menjaga keamanan wilayah yang penduduknya
sedikit agak bersahabat dengan pihak mereka, seperti XXV Mukim, IV Mukim
dan VI Mukim yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi wilayah
sasaran penyerangan Teuku Umar dan Panglima Polem.
Bergerilya ke Pegunungan XXII Mukim
Awal bulan Juli 1896 kawasan XXII Mukim, tempat dimana Sultan Muhammad
Daud Syah berada mendapat serangan besar-besaran dari pihak Belanda.
Penyerangan ini memaksa Sultan Aceh mengundurkan diri ke Pedalaman
Seulimeum pada tanggal 29 Juli 1896. Pihak Belanda dengan kekuatan 1,5
batalion infantri kemudian menyerang kawasan Seulimeum setelah
mengetahui keberadaan Sultan Aceh di sana. Mendapatkan penyerangan itu,
pada bulan September Sultan hijrah ke Pidie. Bersamaan dengan
menyingkirnya Sultan Muhammad Daud Syah ke Pidie, maka demi menegakkan
hak, martabat dan harga diri rakyat Aceh, Panglima Polem bersama
pasukannya langsung menuju ke pegunungan XXII Mukim. Mereka berusaha
memperkuat benteng pertahanan di wilayah itu. Sejak awal September
hingga akhir bulan Oktober 1896 Belanda rnenyerang XXII Mukim. Belanda
dapat mendesak dan menghancurkan kubu-kubu pertahanan Aceh, hingga
mereka berhasil menduduki Jantho. Menghadapi kenyataan itu Panglima
Polem bersama pasukannya mulai membuat perhitungan dengan pasukan
Belanda, terutama dengan cara bergrilya sambil mendirikan kubu-kubu
pertahanan di pegunungan Seulimeum, seperti di Gle Yeueng. Dari sini
Panglima Polem berhasil menduduki Kuta Ba’Teue. Cuaca buruk yang luar
biasa sejak Nopember 1896 hingga pertengahan Januari 1897 sangat banyak
membantu pola grilya yang dimainkan Panglima Polem. Curah hujan yang
luar biasa membuat sebagian besar jalan lintas yang sering digunakan
pasukan Belanda menjadi becek, longsor dan sangat sukar untuk dilalui.
Rumah Panglima Polem
Hijrah Ke Pidie
Pada tahun 1897 Belanda terpaksa mengambil inisiatif untuk menambah
pasukannya di Aceh. Sejak saat itu serangan pihak Aceh mulai menurun dan
Teuku Umarpun mengambil jalan pintas mengundurkan diri ke Daya Hulu.
Untuk mengelabui Belanda tentang keberadaannya, Teuku Umar sengaja
meninggalkan Panglima Polem bersama sejumlah pasukannya di wilayah
pegunungan Seulimeum. Dalam sebuah pertempuran di Gle Yeueng, dengan
kekuatan 4 kompi infantri Belanda akhirnya berhasil menguasai 3 buah
benteng yang didirikan oleh Panglima Polem. Dalam pertempuran ini secara
keseluruhan korban yang jatuh berjumlah 27 orang tewas dan 47 orang
luka-luka. Bulan Oktober 1897 secara keseluruhan Wilayah Seulimeum
akhirnya berhasil dikuasai oleh Belanda tanpa banyak perlawanan, dan
Panglima Polem terpaksa mengambil jalan hijrah ke Pidie.
Menyusun Strategi Baru
Pada bulan Nopember 1897 kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima
oleh Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah) yang sejak beberapa bulan
sebelumnya telah berada di Keumala. Dalam bulan dan tempat yang sama,
Panglima Polem mengadakan suatu musyawarah bersama dengan beberapa orang
tokoh pejuang Aceh lainnya, seperti Teuku Geudong dari IX Mukim Garot,
Teuku Lampoh U, Teuku Ali Baet, Teuku Ban Sama’ Indra, Teungku Cot
Plieng, Teuku Bentara Cumbo’ dan habib Husen. Musyawarah ini bertujuan
untuk menyusun siasat baru dalam mengantisipasi kemungkinan kalau
Belanda melakukan penyerangan ke Pidie. Mereka juga mengundang agar
Teuku Umar yang pada waktu itu masih berada di Daya datang ke Pidie
untuk bergabung bersama.
Bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama
seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem dan
para pejuang lainnya untuk memperkuat barisan pertahanan di sana. Pada
tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para
ulama serta uleebalang terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya
kepada Sultan Muhammad Daud Syah dengan tekad bulat bersama-sama
meneruskan perjuangan melawan Belanda.
Menghadapi Serangan Belanda
Setelah Belanda membaca situasi dan kondisi pertahanan Aceh di lapangan,
maka sejak tanggal 1 Juni hingga pertengahan September 1898 Belanda
melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Pidie. Serangan ini berada
di bawah komando van Heutsz yang sejak bulan Maret 1898 telah diangkat
sebagai Gubernur Sipil dan Militer Belanda menggantikan Mayor Jenderal
van Vliet. Dalam menyusun strategi Heutsz didampingi oleh Snouck
Hurgronje yang diangkat selaku Penasehat Pemerintah Hindia Belanda
urusan Bumiputera.
Serangan ini mereka bagi dalam dua koloni, yakni koloni Pidie yang
berkekuatan lebih kurang 6000 orang dan koloni Seulimeun yang jumlahnya
kira-kira 1950 orang. Untuk menghadapi serangan tersebut pasukan pejuang
Aceh dibagi menjadi beberapa kelompok. Untuk wilayah VII Mukim
sepenuhnya dipercayakan kepada Panglima Polem bersama Tuanku Muhammad
sedangkan dalam wilayah Pidie secara langsung berada dibawah komando
Sultan bersama para pengikutnya. Adapun Teuku Umar dipercayakan umuk
memperkuat pertahanan di wilayah Aree dan Garot. Secara umum peperangan
ini telah banyak memberikan angin segar bagi pihak Belanda, karena
serangan itu telah memaksa para pejuang Aceh untuk mengundurkan diri dan
daerah Pertahanannya ke wilayah yang lebih aman.
Pada bulan November 1898, Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem
sendiri akhimya mengambil jalan pintas untuk mengundurkan diri dari
Pidie menuju Timur ke perbukitan hulu sungai Peusangan. Sementara
Belanda terus mengejar mereka sampai akhirnya meletus perang di Buket
Cot Phie. Dalam pertempuran ini pasukan Panglima Polem hanya berhasil
menewaskan pihak Belanda sebanyak 3 orang dan 8 orang luka-luka,
sedangkan korban pasukan di pihak Aceh seluruhnya mencapai 34 orang.
Keberhasilan Belanda dalam serangan ini membuat mereka semakin berani
melakukan pengejaran. Setelah menguasai perbukitan pedalaman Peusangan
pada tanggal 21 November 1898, Belanda akhirnya berhasil membuat
kesatuan pasukan Aceh menjadi terpencar-pencar. Sultan menyingkir ke
Bukit Keureutoe, Teuku Chik Peusangan ke Bukit Peutoe sedangkan Panglima
Polem menuju ke pegunungan di bagian Selatan Lembah Pidie. Di wilayah
tersebut mereka bertahan selama dua bulan sampai akhirnya Belanda
melakukan pembersihan seluruh benteng-benteng Aceh yang masih terdapat
di Samalanga dan Meureudu.
Menyingkir ke Daerah Gayo
Di awal tahun 1901, Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem
mengambil inisiatif untuk sama-sama menyingkir ke daerah Gayo dan
kemudian menjadikan daerah ini sebagai pusat pertahanan Aceh. Di daerah
ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan pasukannya kembali menyusun
strategi baru untuk mempersiapkan penyerangan terhadap Belanda.
Sementara itu, pihak Belanda sendiri sudah sejak lama ingin menyerang
daerah Gayo, karena penduduk di sana selalu memberikan bantuan perang
sabil dan perbekalan kepada Sultan dan para pejuang Aceh. Apalagi
setelah pihak Belanda mengetahui keberadaan Sultan dan panglima Polem di
daerah tersebut. Oleh karena itu, daerah pedalaman Gayo yang dijadikan
sebagai daerah alternatif bagi pusat pertahanan Aceh akhirnya mendapat
serangan pihak Belanda dari segala penjuru. Melalui Pase Pasukan Belanda
yang dipimpin Mayor van Daalen selama tiga bulan (sejak September
hingga November 1901) terus saja melakukan gerakan pengejaran terhadap
Sultan dan Panglima Polem yang telah berada di Gayo. Akan tetapi Belanda
benar-benar mengalami kesulitan yang luar biasa dalam setiap kali
pertempuran. Hal itu disebabkan dataran tinggi Gayo sebelumnya tidak
pernah dijamah oleh pasukan mereka. Oleh karenanya, Belanda tidak
membawa hasil apa-apa dari penyerangan ini, kecuali hanya mendapat
sasaran tembak dan pasukan Aceh yang memang lebih menguasai medan.
Untuk memperkuat barisan penyerangannya, maka Pada bulan Juni sarnpai
September 1902 Penguasa Belanda memerintahkan Letnan satu W.B.J.A
Scheepens bersama sejumlah pasukannya bergerak dari Meureudu ke Gayo.
Kehadiran pasukan Scheepens ini memang sangat banyak membantu
penyerangan Belanda, sehingga pasukan Aceh sejak saat itu mulai
mengalami tekanan yang luar biasa. Walaupun demikian, Belanda tetap saja
gagal menangkap Sultan dan Panglima Polem.
gelondor baget pake banget yang banyak tapi lumayan bagus
ReplyDelete