Douwes Dekker terlahir dari keluarga yang berada. ayahnya bernama
Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker yang bekerja sebagai agen di sebuah
bank ternama yang bernama Nederlandsch Indisch Escomptobank. Kemudian
Ibunya bernama Louisa Neumann, orang Belanda yang memiliki darah
keturunan Indonesia.
Douwes Dekker diketahui memiliki saudara berjumlah tiga orang.
Pendidikan Douwes Dekker pertama kali dimulai kota Pasuruan. Tamat dari
sana, ia kemudian masuk di HBS di Surabaya, namun tidak lama disana,
orang tuanya kemudian memindahkannya ke sekolah elit di Batavia yang
bernama Gymnasium Koning Willem III School. Selepas lulus dari sana, ia
kemudian diterima bekerja di kebun kopi di wilayah Malang, Jawa Timur.
Disini, beliau kemudian melihat bagaimana perlakuan semena-mena yang
dialami oleh para pekerja pribumi di kebun kopi tersebut.
Tindakan semena-mena tersebut membuat Douwes Dekker kemudian biasa
membela para pekerja kebun tersebut yang membuat ia cenderung dimusuhi
oleh para pengawas kebun yang lain. Hingga membuat ia kemudian
berkonflik dengan managernya yang pada akhirnya Douwes Dekker kemudian
dipindahkan ke perkebunan Tebu namun ia kemudian tidak lama bekerja
disana sebab ia kembali berkonflik perusahaannya karena masalah
pembagian irigasi antara perkebunan tebu dan para petani padi diwilayah
tersebut yang pada akhirnya membuat ia dipecat dari pekerjaannya.
Setelah dipecat dan menjadi seorang pengangguran, ibunya Louisa Neumann
kemudian meninggal dan menyebabkan Douwes Dekker kemudian depresi. Ia
kemudian meninggalkan Hindia Belanda dan kemudian ke Afrika Selatan
menerima tawaran pemerintah kolonial Belanda untuk ikut berperang dalam
perang Boer melawan Inggris pada tahun 1899 dan Di Afrika Selatan, ia
bahkan sempat menjadi warga negara disana dan membuat saudaranya yang
lain menyusulnya kesana.
Namun Douwes Dekker kemudian ditangkap dan sempat dipenjara disana. Ia
kemudian berkenalan dengan sastrawan India yang kemudian membuka
pendangan Douwes Dekker mengenai perlakuan semena-mena pemerintahan
kolonial Belanda pada masyarakat pribumi. Douwes Dekker kemudian kembali
ke Hindia Belanda (Indonesia) tahun 1902. Ia kemudian bekerja sebagai
seorang wartawan di koran bernama De Locomotief, karena keahliannya
dalam membuat laporan mengenai peperangan.
Tahun 1903, ia kemudian mempersunting seorang wanita keturunan
Jerman-Belanda bernama Clara Charlotte Deije yang memberinya lima orang
anak. Selama menjadi wartawan di koran De Locomotief, ia banyak
mengangkat mengenai kasus kelaparan di wilayah Indramayu.
Tulisan-tulisannya sebagai jurnalis banyak mengkritik
kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.
Saat Douwes Dekker menjadi staf di sebuah majalah bernama Bataviaasch
Nieuwsblad di tahun 1907, tulisan-tulisannya condong membela bangsa
pribumi dan semakin banyak menkritik pemerintah kolonial Belanda. Salah
satu tulisannya yang terkenal yaitu "Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniƫn verliezen?" yang berarti "Bagaimana caranya Belanda dapat kehilangan koloni-koloninya".
Tindakannya tersebut membuat Douwes Dekker menjadi target dari inteljen
pemerintah kolonial Belanda. Douwes Dekker juga memberikan tempat
tinggalnya saat itu sebagai tempat untuk berkumpulnya para kaum
pergerakan ketika itu seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo. Banyak yang
menganggap bahwa berkat bantuan Douwes Dekker, organisasi Budi Utomo
sebagai organisasi nasional pertama ketika itu dapat berdiri.
Melihat adanya diskriminasi oleh pemerintahan kolonial Belanda ketika
itu terhadap kaum pribumi terutama di bidang pemerintahan dimana banyak
posisi-posisi penting di pemerintahan di jabat oleh orang Belanda dan
untuk kaum pribumi sendiri hanya dijadikan sebagai pegawai rendahan
karena faktor pendidikan. Melihat hal tersebut, Douwes Dekker kemudian
memberikan sebuah ide mengenai sebuah pemerintahan Hindia Belanda yang
dijalankan oleh para penduduk pribumi asli.
Idenya tersebut ia sampaikan kepada partai Indische Bond dan Insulinde
yang ketika itu anggota berasal dari kaum pribumi disamping itu ia juga
berharap dari idenya tersebut kedua partai tersebut dapat bergabung. Ide
Douwes Dekker tersebut kemudian disambut hangat namun hanya segelintir
orang saja yang menyambut idenya tersebut.
Pada tanggal 25 Desember 1912, Douwes Dekker bersama Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo
kemudian mendirikan sebuah partai politik yang berhaluan nasionalis
pertama yang bernama Indische Partij dan dalam waktu yang tidak terlalu
lama, partai ini dapat menghimpun anggota hingga mencapai 5000 orang dan
sangat populer dikalangan pribumi Indonesia.
Berkembang pesatnya Indische Partij sebagai partai politik nasional
pertama membuat pemerintah Belanda kemudian mencurigai gerak-gerik dari
partai ini, ada yang menuduh partai ini anti-kolonial dan bertujuan agar
Indonesia dapat merdeka dari tangan Belanda sehingga di tahun 1913,
Partai Indische Partij akhirnya dibubarkan oleh pemerintah kolonial
Belanda dan para pendirinya yaitu Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat
dan dr. Cipto Mangunkusumo
No comments:
Post a Comment