Biografi Haji Agus Salim. Ia dikenal sebagai salah satu pahlawan Indonesia, Mengenai kehidupan Haji Agus Salim berikut profilnya. Haji Agus Salim lahir dengan namaMashudul Haq yang berarti "pembela kebenaran". Dia Lahir di Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884.
Dia menjadi anak keempat Sultan Moehammad Salim, seorang jaksa di sebuah pengadilan negeri. Karena kedudukan ayahnya Agus Salim bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan lancar, selain karena dia anak yang cerdas.
Dalam usia muda, dia telah menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing; Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman. Pada 1903 dia lulus HBS (Hogere Burger School) atau sekolah menengah atas 5 tahun pada usia 19 tahun dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta.
Kehidupan Haji Agus Salim
Karena itu, Agus Salim berharap pemerintah mau mengabulkan permohonan beasiswanya untuk melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda. Tapi, permohonan itu ternyata ditolak. Dia patah arang. Tapi, kecerdasannya menarik perhatian Kartini, anak Bupati Jepara. Sebuah cuplikan dari surat Kartinike Ny. Abendanon, istri pejabat yang menentukan pemberian beasiswa pemerintah pada Kartini:Lalu, Kartini merekomendasikan Agus Salim untuk menggantikan dirinya berangkat ke Belanda, karena pernikahannya dan adat Jawa yang tak memungkinkan seorang puteri bersekolah tinggi. Caranya dengan mengalihkan beasiswa sebesar 4.800 gulden dari pemerintah ke Agus Salim. Pemerintah akhirnya setuju. Tapi, Agus Salim menolak.
Dia beranggapan pemberian itu karena usul orang lain, bukan karena penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya. Salim tersinggung dengan sikap pemerintah yang diskriminatif. Apakah karenaKartini berasal dari keluarga bangsawan Jawa yang memiliki hubungan baik dan erat dengan pejabat dan tokoh pemerintah sehingga Kartini mudah memperoleh beasiswa?Karir Politik Haji Agus Salim
Belakangan, Agus Salim memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda di kota itu antara 1906-1911. Di sana, dia memperdalam ilmu agama Islam pada Syech Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram yang juga pamannya, serta mempelajari diplomasi. Sepulang dari Jedah, dia mendirikan sekolah HIS (Hollandsche Inlandsche School), dan kemudian masuk dunia pergerakan nasional.
Karir politik Agus Salim berawal di SI, bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada 915. Ketika kedua tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan mereka terhadap pemerintah Belanda, Agus Salim menggantikan mereka selama empat tahun (1921-1924) di lembaga itu. Tapi, sebagaimana pendahulunya, dia merasa perjuangan “dari dalam” tak membawa manfaat. Dia keluar dari Volksraad danPada 1923, benih perpecahan mulai timbul di SI. Semaun dan kawan-kawan menghendaki SI menjadi organisasi yang condong ke kiri, sedangkan Agus Salim dan Tjokroaminoto menolaknya. Buntutnya SI terbelah dua: Semaun membentuk Sarekat Rakyat yang kemudian berubah menjadi PKI, sedangkan Agus Salim tetap bertahan di SI. Karier politiknya sebenarnya tidak begitu mulus.
Dia pernah dicurigai rekan-rekannya sebagai mata-mata karena pernah bekerja pada pemerintah. Apalagi, dia tak pernah ditangkap dan dipenjara seperti Tjokroaminoto. Tapi, beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang menyinggung pemerintah mematahkan tuduhan-tuduhan itu. Bahkan dia berhasil menggantikan posisi Tjokroaminoto sebagai ketua setelah pendiri SI itu meninggal dunia pada 1934.
Peran Haji Agus Salim
Selain menjadi tokoh SI, Agus Salim juga merupakan salah satu pendiri Jong Islamieten Bond. Di sini dia membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin keagamaan yang kaku. Dalam kongres Jong Islamieten Bond ke-2 di Yogyakarta pada 1927, Agus Salim dengan persetujuan pengurus Jong Islamieten Bond menyatukan tempat duduk perempuan dan laki-laki. Ini berbeda dari kongres dua tahun sebelumnya yang dipisahkan tabir; perempuan di belakang, laki-laki di depan. ”Ajaran dan semangat Islam memelopori emansipasi perempuan,” ujarnya.
Agus Salim pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada akhir kekuasaan Jepang. Ketika Indonesia merdeka, dia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kepiawaiannya berdiplomasi membuat dia dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta. Sesudah pengakuan kedaulatan Agus Salim ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri.
Dengan badannya yang kecil, di kalangan diplomatik Agus Salim dikenal dengan julukan The Grand Old Man, sebagai bentuk pengakuan atas prestasinya di bidang diplomasi. Sebagai pribadi yang dikenal berjiwa bebas. Dia tak pernah mau dikekang oleh batasan-batasan, bahkan dia berani mendobrak tradisi Minang yang kuat. Tegas sebagai politisi, tapi sederhana dalam sikap dan keseharian.
Dia berpindah-pindah rumah kontrakan ketika di Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Di rumah sederhana itulah dia menjadi pendidik bagi anak-anaknya, kecuali si bungsu, bukan memasukkannya ke pendidikan formal. Alasannya, selama hidupnya Agus Salim mendapat segalanya dari luar sekolah. ”Saya telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan kolonial,” ujarnya tentang penolakannya terhadap pendidikan formal kolonial yang juga sebagai bentuk pembangkangannya terhadap kekuasaan Belanda. Agus Salim wafat pada 4 November 1954 dalam usia 70 tahun.
Dalam teori komunikasi, pola berpikir seseorang dipengaruhi oleh latar belakang hidup di lingkungannya. Seorang tokoh yang berperan dalam gerakan moderen Islam di Indonesia, Agus Salim, memiliki pola berpikir yang dipengaruhi oleh lingkungannya dalam hal sosial-intelektual. Dia adalah anak dari pejabat pemerintah yang juga berasal dari kalangan bangsawan dan agama.
Jadi, sejak kecil ia hidup di lingkungan yang penuh dengan nuansa-nuansa keagamaan. Setelah menyelesaikan studi sekolah pertengahannya di Jakarta, dia bekerja untuk konsulat Belanda di Jeddah (1906-1909). Di sini dia mempelajari kembali lebih dalam tentang Islam, kendatipun dia memberi pengakuan: “meskipun saya terlahir dalam sebuah keluarga Muslim yang taat dan mendapatkan pendidikan agama sejak dari masa kanak-kanak, [setelah masuk sekolah Belanda] saya mulai merasa kehilangan iman.”
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa Agus Salim adalah seorang yang anti-nasionalisme. Perjuangannya dalam mempersiapkan kemerdekaan bangsa kita adalah bukti bahwa dia adalah seorang yang berjiwa nasionalisme. Perjuangan Agus salim dalam meraih kemakmuran bagi rakyat Indonesia patut kita apresiasi bersama sebagai rasa syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya, kenikmatan hidup saat ini yang kita rasakan di Indonesia tak lain dan tak bukan adalah hasil jerih payah dari para pejuang kemerdekan dan alangkah lebih baik apabila perjuangan mereka di masa lalu dapat kita hayati untuk merevitalisasi semangat dalam diri menggali secara konsisten khazanah-khazanah keislaman, kemoderenan, dan keindonesiaan.
BLOG INI,adalah blog yg mencakup semua mata pelajaran di sekolah smp maupun sma sebuahh blog yg di mana di dalam blog ini terdapat pelajaran bagi pelajar ,,tentang sejarah kemerdekaan indonesia pada zaman dahulu dan sangat bermanfaat,,(;
Friday, February 24, 2017
biografi ki hajar dewantara
Biografi Ki Hajar Dewantara - Pahlawan Indonesia. Tokoh berikut ini dikenal sebagai pelopor pendidikan untuk masyarakat pribumi di Indonesia ketika masih dalam masa penjajahan Kolonial Belanda. Mengenai profil Ki Hajar Dewantara sendiri, beliau terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang kemudian kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Beliau sendiri lahir di Kota Yogyakarta, pada tanggal 2 Mei 1889, Hari kelahirannya kemudian diperingati setiap tahun oleh Bangsa Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Beliau sendiri terlahir dari keluarga Bangsawan, ia merupakan anak dari GPH Soerjaningrat, yang merupakan cucu dari Pakualam III. Terlahir sebagai bangsawan maka beliau berhak memperoleh pendidikan untuk para kaum bangsawan.
Mulai Bersekolah dan Menjadi Wartawan
Ia pertama kali bersekolah di ELS yaitu Sekolah Dasar untuk anak-anak Eropa/Belanda dan juga kaum bangsawan. Selepas dari ELS ia kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter pribumi di kota Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda, yang kini dikenal sebagai fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Meskipun bersekolah di STOVIA, Ki Hadjar Dewantara tidak sampai tamat sebab ia menderita sakit ketika itu.
Ki Hadjar Dewantara cenderung lebih tertarik dalam dunia jurnalistik atau tulis-menulis, hal ini dibuktikan dengan bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat kabar pada masa itu, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Gaya penulisan Ki Hadjar Dewantara pun cenderung tajam mencerminkan semangat anti kolonial. Seperti yang ia tuliskan berikut ini dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker :
Masuk Organisasi Budi Utomo
Berdirinya organisasi Budi Utomo sebagai organisasi sosial dan politik kemudian mendorong Ki Hadjar Dewantara untuk bergabung didalamnya, Di Budi Utomo ia berperan sebagai propaganda dalam menyadarkan masyarakat pribumi tentang pentingnya semangat kebersamaan dan persatuan sebagai bangsa Indonesia. Munculnya Douwes Dekker yang kemudian mengajak Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan organisasi yang bernama Indische Partij yang terkenal.
Di pengasingannya di Belanda kemudian Ki Hadjar Dewantara mulai bercita-bercita untuk memajukan kaumnya yaitu kaum pribumi. iaberhasil mendapatkan ijazah pendidikan yang dikenal dengan nama Europeesche Akte atau Ijazah pendidikan yang bergengsi di belanda. Ijazah inilah yang membantu beliau untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang akan ia buat di Indonesia. Di Belanda pula ia memperoleh pengaruh dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.Pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara kemudian mempersunting seorang wanita keturunan bangsawan yang bernama Raden Ajeng Sutartinah yang merupakan putri paku alaman, Yogyakarta. Dari pernikahannya dengan R.A Sutartinah, Ki Hadjar Dewantara kemudian dikaruniai dua orang anak bernama Ni Sutapi Asti dan Ki Subroto Haryomataram. Selama di pengasingannya, istrinya selalu mendampingi dan membantu segala kegiatan suaminya terutama dalam hal pendidikan.
Kembali Ke Indonesia dan Mendirikan Taman Siswa
Kemudian pada tahun 1919, ia kembali ke Indonesia dan langsung bergabung sebagai guru di sekolah yang didirikan oleh saudaranya. Pengalaman mengajar yang ia terima di sekolah tersebut kemudian digunakannya untuk membuat sebuah konsep baru mengenai metode pengajaran pada sekolah yang ia dirikan sendiri pada tanggal 3 Juli 1922, sekolah tersebut bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa yang kemudian kita kenal sebagai Taman Siswa.
Di usianya yang menanjak umur 40 tahun, tokoh yang dikenal dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat resmi mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, hal ini ia maksudkan agar ia dapat dekat dengan rakyat pribumi ketika itu.
Semboyan Ki Hadjar Dewantara
Ia pun juga membuat semboyan yang terkenal yang sampai sekarang dipakai dalam dunia pendidikan Indonesia yaitu :
Mulai Bersekolah dan Menjadi Wartawan
Ia pertama kali bersekolah di ELS yaitu Sekolah Dasar untuk anak-anak Eropa/Belanda dan juga kaum bangsawan. Selepas dari ELS ia kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter pribumi di kota Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda, yang kini dikenal sebagai fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Meskipun bersekolah di STOVIA, Ki Hadjar Dewantara tidak sampai tamat sebab ia menderita sakit ketika itu.
Ki Hadjar Dewantara cenderung lebih tertarik dalam dunia jurnalistik atau tulis-menulis, hal ini dibuktikan dengan bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat kabar pada masa itu, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Gaya penulisan Ki Hadjar Dewantara pun cenderung tajam mencerminkan semangat anti kolonial. Seperti yang ia tuliskan berikut ini dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker :
..Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.Tulisan tersebut kemudian menyulut kemarahan pemerintah Kolonial Hindia Belanda kala itu yang mengakibatkan Ki Hadjar Dewantara ditangkap dan kemudian ia diasingkan ke pulau Bangka dimana pengasingannya atas permintaannya sendiri. Pengasingan itu juga mendapat protes dari rekan-rekan organisasinya yaitu Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo yang kini ketiganya dikenal sebagai 'Tiga Serangkai'. Ketiganya kemudian diasingkan di Belanda oleh pemerintah Kolonial.
Masuk Organisasi Budi Utomo
Berdirinya organisasi Budi Utomo sebagai organisasi sosial dan politik kemudian mendorong Ki Hadjar Dewantara untuk bergabung didalamnya, Di Budi Utomo ia berperan sebagai propaganda dalam menyadarkan masyarakat pribumi tentang pentingnya semangat kebersamaan dan persatuan sebagai bangsa Indonesia. Munculnya Douwes Dekker yang kemudian mengajak Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan organisasi yang bernama Indische Partij yang terkenal.
Di pengasingannya di Belanda kemudian Ki Hadjar Dewantara mulai bercita-bercita untuk memajukan kaumnya yaitu kaum pribumi. iaberhasil mendapatkan ijazah pendidikan yang dikenal dengan nama Europeesche Akte atau Ijazah pendidikan yang bergengsi di belanda. Ijazah inilah yang membantu beliau untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang akan ia buat di Indonesia. Di Belanda pula ia memperoleh pengaruh dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.Pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara kemudian mempersunting seorang wanita keturunan bangsawan yang bernama Raden Ajeng Sutartinah yang merupakan putri paku alaman, Yogyakarta. Dari pernikahannya dengan R.A Sutartinah, Ki Hadjar Dewantara kemudian dikaruniai dua orang anak bernama Ni Sutapi Asti dan Ki Subroto Haryomataram. Selama di pengasingannya, istrinya selalu mendampingi dan membantu segala kegiatan suaminya terutama dalam hal pendidikan.
Kembali Ke Indonesia dan Mendirikan Taman Siswa
Kemudian pada tahun 1919, ia kembali ke Indonesia dan langsung bergabung sebagai guru di sekolah yang didirikan oleh saudaranya. Pengalaman mengajar yang ia terima di sekolah tersebut kemudian digunakannya untuk membuat sebuah konsep baru mengenai metode pengajaran pada sekolah yang ia dirikan sendiri pada tanggal 3 Juli 1922, sekolah tersebut bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa yang kemudian kita kenal sebagai Taman Siswa.
Di usianya yang menanjak umur 40 tahun, tokoh yang dikenal dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat resmi mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, hal ini ia maksudkan agar ia dapat dekat dengan rakyat pribumi ketika itu.
Semboyan Ki Hadjar Dewantara
Ia pun juga membuat semboyan yang terkenal yang sampai sekarang dipakai dalam dunia pendidikan Indonesia yaitu :
Saturday, February 18, 2017
biografi R.A KARTINI
biografi r.a kartini Tokoh wanita satu ini sangat terkenal di
Indonesia. Dialah Raden Ajeng Kartini atau dikenal sebagai R.A Kartini,
beliau dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang dikenal gigih
memperjuangkan emansipasi wanita kala ia hidup. Mengenai Biografi dan
Profil R.A Kartini, beliau lahir pada tanggal 21 April tahun 1879 di
Kota Jepara, Hari kelahirannya itu kemudian diperingati sebagai Hari
Kartini untuk menghormati jasa-jasanya pada bangsa Indonesia. Kartini
lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan oleh sebab itu ia memperoleh
gelar R.A (Raden Ajeng) di depan namanya, gelar itu sendiri (Raden
Ajeng) dipergunakan oleh Kartini sebelum ia menikah, jika sudah menikah
maka gelar kebangsawanan yang dipergunakan adalah R.A (Raden Ayu)
menurut tradisi Jawa.
Ayahnya bernama R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai bupati jepara, beliau ini merupakan kakek dari R.A Kartini. Ayahnya R.M. Sosroningrat merupakan orang yang terpandang sebab posisinya kala itu sebagai bupati Jepara kala Kartini dilahirkan.
Ibu kartini yang bernama M.A. Ngasirah, beliau ini merupakan anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Kota Jepara. Menurut sejarah, Kartini merupakan keturunan dari Sri Sultan Hamengkubuwono VI, bahkan ada yang mengatakan bahwa garis keturunan ayahnya berasal dari kerajaan Majapahit.
Ibu R.A Kartini yaitu M.A. Ngasirah sendiri bukan keturunan bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa saja, oleh karena itu peraturan kolonial Belanda ketika itu mengharuskan seorang Bupati harus menikah dengan bangsawan juga, hingga akhirnya ayah Kartini kemudian mempersunting seorang wanita bernama Raden Adjeng Woerjan yang merupakan seorang bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura ketika itu.R.A Kartini sendiri memiliki saudara berjumlah 11 orang yang terdiri dari saudara kandung dan saudara tiri. Beliau sendiri merupakan anak kelima, namun ia merupakan anak perempuan tertua dari 11 bersaudara. Sebagai seorang bangsawan, R.A Kartini juga berhak memperoleh pendidikan.
Ayahnya kemudian menyekolahkan Kartini kecil di ELS (Europese Lagere School). Disinilah Kartini kemudian belajar Bahasa Belanda dan bersekolah disana hingga ia berusia 12 tahun sebab ketika itu menurut kebiasaan ketika itu, anak perempuan harus tinggal dirumah untuk 'dipingit'.
Pemikiran-Pemikiran R.A Kartini Tentang Emansipasi Wanita
Meskipun berada di rumah, R.A Kartini aktif dalam melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda sebab beliau juga fasih dalam berbahasa Belanda. Dari sinilah kemudian, Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar, majalah serta buku-buku yang ia baca.
Hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi sebab dalam pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu.
R.A Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa belanda, di usiannya yang ke 20, ia bahkan banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa belanda, selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Su
Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan, R.A Kartini memberi perhatian khusus pada masalah emansipasi wanita melihat perbandingan antara wanita eropa dan wanita pribumi.
Selain itu ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi menurutnya, seorang wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum.
Surat-surat yang kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi dimana ia melihat contoh kebudayaan jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan dari perempuan pribumi ketika itu. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju.
Kartini menuliskan penderitaan perempuan di jawa seperti harus dipingit, tidak bebas dalam menuntuk ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.
Cita-cita luhur R.A Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi olah Kartini, dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang yaitu makna Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme.
Kartini juga menyinggung tentang agama, misalnya ia mempertanyakan mengapa laki-laki dapat berpoligami, dan mengapa mengapa kitab suci itu harus dibaca dan dihafal tanpa perlu kewajiban untuk memahaminya.
Teman wanita Belanda nya Rosa Abendanon, dan Estelle "Stella" Zeehandelaar juga mendukung pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh R.A Kartini. Sejarah mengatakan bahwa Kartini diizinkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang guru sesuai dengan cita-cita namun ia dilarang untuk melanjutkan studinya untuk belajar di Batavia ataupun ke Negeri Belanda.
Hingga pada akhirnya, ia tidak dapat melanjutanya cita-citanya baik belajar menjadi guru di Batavia atau
Ayahnya bernama R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai bupati jepara, beliau ini merupakan kakek dari R.A Kartini. Ayahnya R.M. Sosroningrat merupakan orang yang terpandang sebab posisinya kala itu sebagai bupati Jepara kala Kartini dilahirkan.
Ibu kartini yang bernama M.A. Ngasirah, beliau ini merupakan anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Kota Jepara. Menurut sejarah, Kartini merupakan keturunan dari Sri Sultan Hamengkubuwono VI, bahkan ada yang mengatakan bahwa garis keturunan ayahnya berasal dari kerajaan Majapahit.
Ibu R.A Kartini yaitu M.A. Ngasirah sendiri bukan keturunan bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa saja, oleh karena itu peraturan kolonial Belanda ketika itu mengharuskan seorang Bupati harus menikah dengan bangsawan juga, hingga akhirnya ayah Kartini kemudian mempersunting seorang wanita bernama Raden Adjeng Woerjan yang merupakan seorang bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura ketika itu.R.A Kartini sendiri memiliki saudara berjumlah 11 orang yang terdiri dari saudara kandung dan saudara tiri. Beliau sendiri merupakan anak kelima, namun ia merupakan anak perempuan tertua dari 11 bersaudara. Sebagai seorang bangsawan, R.A Kartini juga berhak memperoleh pendidikan.
Ayahnya kemudian menyekolahkan Kartini kecil di ELS (Europese Lagere School). Disinilah Kartini kemudian belajar Bahasa Belanda dan bersekolah disana hingga ia berusia 12 tahun sebab ketika itu menurut kebiasaan ketika itu, anak perempuan harus tinggal dirumah untuk 'dipingit'.
Pemikiran-Pemikiran R.A Kartini Tentang Emansipasi Wanita
Meskipun berada di rumah, R.A Kartini aktif dalam melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda sebab beliau juga fasih dalam berbahasa Belanda. Dari sinilah kemudian, Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar, majalah serta buku-buku yang ia baca.
Hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi sebab dalam pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu.
R.A Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa belanda, di usiannya yang ke 20, ia bahkan banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa belanda, selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Su
Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan, R.A Kartini memberi perhatian khusus pada masalah emansipasi wanita melihat perbandingan antara wanita eropa dan wanita pribumi.
Selain itu ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi menurutnya, seorang wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum.
Surat-surat yang kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi dimana ia melihat contoh kebudayaan jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan dari perempuan pribumi ketika itu. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju.
Kartini menuliskan penderitaan perempuan di jawa seperti harus dipingit, tidak bebas dalam menuntuk ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.
Cita-cita luhur R.A Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi olah Kartini, dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang yaitu makna Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme.
Kartini juga menyinggung tentang agama, misalnya ia mempertanyakan mengapa laki-laki dapat berpoligami, dan mengapa mengapa kitab suci itu harus dibaca dan dihafal tanpa perlu kewajiban untuk memahaminya.
Teman wanita Belanda nya Rosa Abendanon, dan Estelle "Stella" Zeehandelaar juga mendukung pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh R.A Kartini. Sejarah mengatakan bahwa Kartini diizinkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang guru sesuai dengan cita-cita namun ia dilarang untuk melanjutkan studinya untuk belajar di Batavia ataupun ke Negeri Belanda.
Hingga pada akhirnya, ia tidak dapat melanjutanya cita-citanya baik belajar menjadi guru di Batavia atau
biografi lengkap cut nyak dien
Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848 di Aceh Besar di wilayah VI Mukimm, ia terlahir dari kalangan keluarga bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang, yang juga mempunyai keturunan dari Datuk Makhudum Sati. Datuk Makhudum Sati datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.Pada masa kecil Cut Nyak Dhien, Ia memperoleh pendidikan agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Namun pada tahun 1878 Teuku Ibrahim Lamnga suami dari Cut Nyak Dhien tewas karena telah gugur dalam perang melawan Belanda di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878.Meninggalnya Ibrahim Lamnga membuat duka yang mendalam bagi Cut Nyak Dhien. Tidak lama setelah kematian Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dhien dipersunting oleh Teuku Umar pada tahun 1880.Teuku Umar adalah salah satu tokoh yang melawan Belanda. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda.
masa peperangan
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah.
Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati
Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal
30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang
pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat
senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka
memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya
komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar
merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai
penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut
Nyak Dhien dan memakinya.
Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda.
Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu
mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan
mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika
jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan
rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang
basis Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan
perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah
kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar
(pengkhianatan Teuku Umar).
Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan
melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar dan Chut
Nyak Dhien. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda.
Mereka mulai menyerang Belanda dan pasukan musuh berada pada kekacauan
sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus
Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda
berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan
membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.
Teuku umar dan Chut Nyak Dhien terus menekan Belanda, lalu menyerang
Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga
Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas. Unit
"Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat
sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De
Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang
ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati
kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De Marsose".
Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena
banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka,
dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.
Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan
mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak Teuku
Umar sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar
untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku
Umar gugur tertembak peluru.
Setelah kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dien memimpin pasukan perlawanan
melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya
dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai
kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa
berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin
tua.
Baca juga : Biografi Bill Gates Pendiri Perusahaan Microsoft
Masa Tua dan Kematian
Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di rumah
sakit disana, sementara itu Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan
dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut
Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan
Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga
karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya
yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959
berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu"
diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat
melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang
peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan
pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar
besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam
terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan
yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.
Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan
bahasa Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Informasi diatas saya dapatkan dari artikel di wikipedia dan juga dengan beberapa situs yang membahas informasi yang sama. Itulah sedikit ulasan mengenai biografi cut nyak dhien yang dapat saya sampaikan terima kasih.
Informasi diatas saya dapatkan dari artikel di wikipedia dan juga dengan beberapa situs yang membahas informasi yang sama. Itulah sedikit ulasan mengenai biografi cut nyak dhien yang dapat saya sampaikan terima kasih.
biografi lengkap panglima polim
panglima polemIX
Dalam sistem pemerintahan kerajaan Aceh, Panglima Polem merupakan pejabat Panglima Sagoe XXII Mukim (Pedalaman Aceh Besar) dengan gelar tambahan Sri Muda Setia Peurkasa. Sedangkan untuk sebelah kanan Aceh Besar Panglima Sagoe Mukim XXVI bergelar Sri Imam Muda dan untuk sebelah kiri Mukim XXV bergelar Setia Ulama. Walaupun masing-masing Panglima Sagoe tersebut membawahi para Uleebalang, Imeum Mukim dan Keuchik, namun hanya sagoe pedalaman saja yang berhak memiliki gelar Panglima Polem.
Dengan demikian, sebutan Panglima Polem bukanlah nama asli dari tokoh
yang bersangkutan, tetapi merupakan gelar kehormatan yang dinobatkan
karena kebangsawanan sekaligus karena jabatan seseorang. Oleh karena
itu, dalam sejarah kerajaan Aceh ditemukan gelar Panglima Polem yang
selalu diikuti oleh nama lain sebagai nama asli dari tokoh yang
bersangkutan.
Silsilah Panglima Polem IX
Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal
dan tahun kelahiran Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, yang jelas dia
berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima
Polem VIII Raja Kuala anak dan Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud
Arifin yang juga terkenal dengan nama Cut Banta (Panglima Polem VII
(1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim Aceh
Besar. (Ibrahim Alfian: 1977, 41)
Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah
seorang puteri dari Tuanku Hasyim Bangtamuda, tokoh Aceh yang
seperjuangan dengan ayahnya. Dia diangkat sebagai Panglima Polem IX pada
bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala
yang telah berpulang ke rahmatullah. Setelah pengangkatannya sebagai
Panglima dia kemudian mempunyai nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri
Muda Setia Perkasa Muhammad Daud. (Ibrahim Alfian: 1977, 209).
Dukungan Keluarga
Dalam perjuangannya sebagai Panglima Sagoe XXII Mukim (Pedalaman Aceh
Besar), Teuku Panglima Polem Sri Muda Peurkasa Muhammad Daud dibantu
oleh dua orang Panglima, yakni abang iparnya yang bernama Teuku Ali
Basyah dari Geudong dan Teuku Ibrahim Montasie'. Di samping itu,
Panglima Polem juga mendapat dukungan yang sangat kuat dari mertuanya
Tuanku Hasyim Bangtamuda. Di mana dia sendiri berhasil mengumpulkan dana
sabilillah dari wilayah bawahannya XXII Mukim yang jumlahnya sekitar
35.000 ringgit dan mertuanya Tuanku Hasyim juga berhasil mengumpulkan
amunisi dari Daerah VII Mukim Pidie.
Dukungan Ulama
Selain itu, dalam perjuangannya Panglima Polem Raja Daud secara tidak
langsung juga memperoleh dukungan dari para ulama Aceh, seperti Teungku
Mayet Tiro, Teungku Klibeuet, Habib Lhong dan Teungku Geulima. Mereka
mendirikan kubu-kubu pertahanan rakyat Aceh guna menghadapi serangan
Belanda, terutama terhadap Daerah XXII Mukim. Bahkan lebih dari itu,
ternyata para ulama juga ikut aktif pada barisan terdepan dalam
menghadapi Belanda. Teungku Muhammad Amin misalnya, dia secara riil
memperoleh pengakuan dari Sultan Muhammad Daud Syah sebagai pimpinan
pejuang menggantikan Teungku Chi’ Syaikh Saman di Tiro yang telah
berpulang ke rahmatullah pada tahun 1892.
Di samping itu, peperangan juga dipimpin langsung oleh Teungku Pante
Kulu, Teungku Kuta Karang, Habib Samalanga, Teungku Ati Lam Kra',
Teungku Mat Saleh, Teungku Rayeu', Teungku Di Caleue, Teungku Husen
Lueng Bata, Habeb Lhong dan Pocut Mat Tahe. (Ibrahim Alfian: 1977, 42).
Sebagai pendukung utama Panglima Polem dari pihak ulama, maka Teungku
Muhammad Amin dan Teungku Beb diangkat menjadi Panglima Besar Pasukan
Muslimin. Di samping itu, secara khusus diangkat pula Teuku Nyak Makam
sebagai Panglima Besar untuk wilayah Aceh Timur. Pada tahun 1893 Nyak
Makam tercatat berhasil menggerakkan sebuah perlawanan yang cukup sengit
di daerah Tamiang yang telah menewaskan sejumlah perwira dan pasukan
Belanda.
Bergabung Dengan Teuku Umar
Sampai tahun 1896, Belanda masih sulit mencapai kubu-kubu pertahanan
rakyat Aceh. Kesulitan itu diperparah lagi oleh segala siasat Teuku Umar
bersama 15 orang panglimanya yang pada bulan September 1893 secara
pura-pura menyerah kepada Belanda, lalu dia diangkat sebagai Panglima
Perang Besar di pihak Belanda. Di penghujung bulan Maret 1896 setelah
terjadi penyerangan besar-besaran terhadap patroli Belanda di daerah Lam
Kra' VII Mukim Ba'et Aceh Besar, secara dramatis Teuku Umar bersama 15
pengikutnya berbalik kembali membela rakyat Aceh. Teuku Umar
meninggalkan Belanda setelah memiliki dana, persenjataan, dan telah
banyak menguasai teknik tempur dari pihak Belanda. Pada tanggal 26 April
1896 (ia dipecat oleh penguasa Belanda dari segaia jabatannya dan sejak
saat itu dia menjadi tokoh utama yang paling diincar oleh pihak
Belanda. Dalam pengejaran Teuku Umar, Gubernur Belanda Deijkerhoff
meminta bantuan penambahan pasukan dari Pemerintah Pusat di Batavia.
Bantuan pasukan besar-besaran tiba bersama Panglima Angkatan Darat dan
Panglima Angkatan Laut Belanda di bawah pimpinan Vetter. Mereka
menggempur seluruh kubu pertahanan Aceh dari semua ini.
Sementara itu, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang
pasukannya bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan
Belanda. (Ibrahim Alfian: 1977, 45). Dalam pertempuran besar-besaran
yang berlangsung selama 14 hari, sejak tanggal 8 sampai 21 April di
pihak Belanda jatuh korban sebanyak 215 orang tewas dan 190 orang
luka-luka. Dengan perasaan takut bercampur marah pasukan Belanda kembali
menekan dan mempertajam serangannya, sehingga dalam pertempuran di
Aneuk Galung Belanda berhasil menjatuhkan korban di pihak Aceh sebanyak
110 orang sedangkan di pihak mereka hanya 6 orang tewas dan 33 orang
luka-luka, di antaranya 4 orang, perwira. Para pejuang Aceh yang gugur
dalam pertempuran itu kebanyakan berasal dari daerah Pidie. Di dalamnya
terdapat salah seorang tokoh pejuang Aceh yang sangat tangguh yakni
Teungku Mat Amin (salah seorang putera Teungku Chik di Tiro).
Di bawah pimpinan Gubernur J.W. Stemfoort, Belanda merubah pola
pertahannya dari sistem konsentrasi ke politik agresi. Walaupun
demikian, Belanda tetap menjaga keamanan wilayah yang penduduknya
sedikit agak bersahabat dengan pihak mereka, seperti XXV Mukim, IV Mukim
dan VI Mukim yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi wilayah
sasaran penyerangan Teuku Umar dan Panglima Polem.
Bergerilya ke Pegunungan XXII Mukim
Awal bulan Juli 1896 kawasan XXII Mukim, tempat dimana Sultan Muhammad
Daud Syah berada mendapat serangan besar-besaran dari pihak Belanda.
Penyerangan ini memaksa Sultan Aceh mengundurkan diri ke Pedalaman
Seulimeum pada tanggal 29 Juli 1896. Pihak Belanda dengan kekuatan 1,5
batalion infantri kemudian menyerang kawasan Seulimeum setelah
mengetahui keberadaan Sultan Aceh di sana. Mendapatkan penyerangan itu,
pada bulan September Sultan hijrah ke Pidie. Bersamaan dengan
menyingkirnya Sultan Muhammad Daud Syah ke Pidie, maka demi menegakkan
hak, martabat dan harga diri rakyat Aceh, Panglima Polem bersama
pasukannya langsung menuju ke pegunungan XXII Mukim. Mereka berusaha
memperkuat benteng pertahanan di wilayah itu. Sejak awal September
hingga akhir bulan Oktober 1896 Belanda rnenyerang XXII Mukim. Belanda
dapat mendesak dan menghancurkan kubu-kubu pertahanan Aceh, hingga
mereka berhasil menduduki Jantho. Menghadapi kenyataan itu Panglima
Polem bersama pasukannya mulai membuat perhitungan dengan pasukan
Belanda, terutama dengan cara bergrilya sambil mendirikan kubu-kubu
pertahanan di pegunungan Seulimeum, seperti di Gle Yeueng. Dari sini
Panglima Polem berhasil menduduki Kuta Ba’Teue. Cuaca buruk yang luar
biasa sejak Nopember 1896 hingga pertengahan Januari 1897 sangat banyak
membantu pola grilya yang dimainkan Panglima Polem. Curah hujan yang
luar biasa membuat sebagian besar jalan lintas yang sering digunakan
pasukan Belanda menjadi becek, longsor dan sangat sukar untuk dilalui.
Rumah Panglima Polem
Hijrah Ke Pidie
Pada tahun 1897 Belanda terpaksa mengambil inisiatif untuk menambah
pasukannya di Aceh. Sejak saat itu serangan pihak Aceh mulai menurun dan
Teuku Umarpun mengambil jalan pintas mengundurkan diri ke Daya Hulu.
Untuk mengelabui Belanda tentang keberadaannya, Teuku Umar sengaja
meninggalkan Panglima Polem bersama sejumlah pasukannya di wilayah
pegunungan Seulimeum. Dalam sebuah pertempuran di Gle Yeueng, dengan
kekuatan 4 kompi infantri Belanda akhirnya berhasil menguasai 3 buah
benteng yang didirikan oleh Panglima Polem. Dalam pertempuran ini secara
keseluruhan korban yang jatuh berjumlah 27 orang tewas dan 47 orang
luka-luka. Bulan Oktober 1897 secara keseluruhan Wilayah Seulimeum
akhirnya berhasil dikuasai oleh Belanda tanpa banyak perlawanan, dan
Panglima Polem terpaksa mengambil jalan hijrah ke Pidie.
Menyusun Strategi Baru
Pada bulan Nopember 1897 kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima
oleh Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah) yang sejak beberapa bulan
sebelumnya telah berada di Keumala. Dalam bulan dan tempat yang sama,
Panglima Polem mengadakan suatu musyawarah bersama dengan beberapa orang
tokoh pejuang Aceh lainnya, seperti Teuku Geudong dari IX Mukim Garot,
Teuku Lampoh U, Teuku Ali Baet, Teuku Ban Sama’ Indra, Teungku Cot
Plieng, Teuku Bentara Cumbo’ dan habib Husen. Musyawarah ini bertujuan
untuk menyusun siasat baru dalam mengantisipasi kemungkinan kalau
Belanda melakukan penyerangan ke Pidie. Mereka juga mengundang agar
Teuku Umar yang pada waktu itu masih berada di Daya datang ke Pidie
untuk bergabung bersama.
Bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama
seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem dan
para pejuang lainnya untuk memperkuat barisan pertahanan di sana. Pada
tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para
ulama serta uleebalang terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya
kepada Sultan Muhammad Daud Syah dengan tekad bulat bersama-sama
meneruskan perjuangan melawan Belanda.
Menghadapi Serangan Belanda
Setelah Belanda membaca situasi dan kondisi pertahanan Aceh di lapangan,
maka sejak tanggal 1 Juni hingga pertengahan September 1898 Belanda
melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Pidie. Serangan ini berada
di bawah komando van Heutsz yang sejak bulan Maret 1898 telah diangkat
sebagai Gubernur Sipil dan Militer Belanda menggantikan Mayor Jenderal
van Vliet. Dalam menyusun strategi Heutsz didampingi oleh Snouck
Hurgronje yang diangkat selaku Penasehat Pemerintah Hindia Belanda
urusan Bumiputera.
Serangan ini mereka bagi dalam dua koloni, yakni koloni Pidie yang
berkekuatan lebih kurang 6000 orang dan koloni Seulimeun yang jumlahnya
kira-kira 1950 orang. Untuk menghadapi serangan tersebut pasukan pejuang
Aceh dibagi menjadi beberapa kelompok. Untuk wilayah VII Mukim
sepenuhnya dipercayakan kepada Panglima Polem bersama Tuanku Muhammad
sedangkan dalam wilayah Pidie secara langsung berada dibawah komando
Sultan bersama para pengikutnya. Adapun Teuku Umar dipercayakan umuk
memperkuat pertahanan di wilayah Aree dan Garot. Secara umum peperangan
ini telah banyak memberikan angin segar bagi pihak Belanda, karena
serangan itu telah memaksa para pejuang Aceh untuk mengundurkan diri dan
daerah Pertahanannya ke wilayah yang lebih aman.
Pada bulan November 1898, Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem
sendiri akhimya mengambil jalan pintas untuk mengundurkan diri dari
Pidie menuju Timur ke perbukitan hulu sungai Peusangan. Sementara
Belanda terus mengejar mereka sampai akhirnya meletus perang di Buket
Cot Phie. Dalam pertempuran ini pasukan Panglima Polem hanya berhasil
menewaskan pihak Belanda sebanyak 3 orang dan 8 orang luka-luka,
sedangkan korban pasukan di pihak Aceh seluruhnya mencapai 34 orang.
Keberhasilan Belanda dalam serangan ini membuat mereka semakin berani
melakukan pengejaran. Setelah menguasai perbukitan pedalaman Peusangan
pada tanggal 21 November 1898, Belanda akhirnya berhasil membuat
kesatuan pasukan Aceh menjadi terpencar-pencar. Sultan menyingkir ke
Bukit Keureutoe, Teuku Chik Peusangan ke Bukit Peutoe sedangkan Panglima
Polem menuju ke pegunungan di bagian Selatan Lembah Pidie. Di wilayah
tersebut mereka bertahan selama dua bulan sampai akhirnya Belanda
melakukan pembersihan seluruh benteng-benteng Aceh yang masih terdapat
di Samalanga dan Meureudu.
Menyingkir ke Daerah Gayo
Di awal tahun 1901, Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem
mengambil inisiatif untuk sama-sama menyingkir ke daerah Gayo dan
kemudian menjadikan daerah ini sebagai pusat pertahanan Aceh. Di daerah
ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan pasukannya kembali menyusun
strategi baru untuk mempersiapkan penyerangan terhadap Belanda.
Sementara itu, pihak Belanda sendiri sudah sejak lama ingin menyerang
daerah Gayo, karena penduduk di sana selalu memberikan bantuan perang
sabil dan perbekalan kepada Sultan dan para pejuang Aceh. Apalagi
setelah pihak Belanda mengetahui keberadaan Sultan dan panglima Polem di
daerah tersebut. Oleh karena itu, daerah pedalaman Gayo yang dijadikan
sebagai daerah alternatif bagi pusat pertahanan Aceh akhirnya mendapat
serangan pihak Belanda dari segala penjuru. Melalui Pase Pasukan Belanda
yang dipimpin Mayor van Daalen selama tiga bulan (sejak September
hingga November 1901) terus saja melakukan gerakan pengejaran terhadap
Sultan dan Panglima Polem yang telah berada di Gayo. Akan tetapi Belanda
benar-benar mengalami kesulitan yang luar biasa dalam setiap kali
pertempuran. Hal itu disebabkan dataran tinggi Gayo sebelumnya tidak
pernah dijamah oleh pasukan mereka. Oleh karenanya, Belanda tidak
membawa hasil apa-apa dari penyerangan ini, kecuali hanya mendapat
sasaran tembak dan pasukan Aceh yang memang lebih menguasai medan.
Untuk memperkuat barisan penyerangannya, maka Pada bulan Juni sarnpai
September 1902 Penguasa Belanda memerintahkan Letnan satu W.B.J.A
Scheepens bersama sejumlah pasukannya bergerak dari Meureudu ke Gayo.
Kehadiran pasukan Scheepens ini memang sangat banyak membantu
penyerangan Belanda, sehingga pasukan Aceh sejak saat itu mulai
mengalami tekanan yang luar biasa. Walaupun demikian, Belanda tetap saja
gagal menangkap Sultan dan Panglima Polem.
Subscribe to:
Posts (Atom)